Pertanyaan: Firma Anda dikenal sebagai firma hukum butik dengan fokus pada pasar karbon. Bisakah Anda menceritakan sedikit tentang latar belakang Anda dan apa yang membuat Anda berspesialisasi dalam bidang hukum ini?
Sebagai firma hukum yang menangani sengketa, kami secara rutin menangani sengketa administratif yang melibatkan klien-klien dari sektor swasta yang berhadapan dengan lembaga-lembaga pemerintah. Meskipun pada awalnya kami memulai dengan sengketa yang timbul dari sektor keuangan, namun pada akhirnya kami juga menangani sengketa-sengketa di sektor lain seperti telekomunikasi, energi dan yang terbaru adalah Pasar Karbon.
Meskipun secara tradisional kita telah melihat fokus pada pelaku usaha yang mengamankan area konsesi besar untuk mengekstraksi komoditas seperti kayu dan kelapa sawit, kita sekarang melihat tren yang berkembang dimana para pelaku usaha mengalihkan fokusnya untuk mengamankan area konsesi untuk mengembangkan proyek karbon. Dengan memahami nuansa dan risiko seputar pemberian dan pemeliharaan konsesi-konsesi ini, yang datang dalam bentuk Keputusan Menteri, kami memperkirakan munculnya sengketa di bidang hukum ini.
T: Nilai Ekonomi Karbon dan pasar karbon masih relatif baru di Indonesia. Apa saja tantangan hukum unik yang muncul ketika mewakili klien dalam sengketa di pasar yang berkembang pesat ini?
Kurangnya kepastian kebijakan sejauh ini menjadi tantangan terbesar dalam mewakili klien kami. Sebagai latar belakang, pemerintah Indonesia baru mulai menerapkan peraturan Nilai Ekonomi Karbon pada akhir tahun 2021 melalui pemberlakuan Peraturan Presiden No.98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon.
Meskipun baru berlaku sejak tahun 2021, pemerintah telah memberlakukan peraturan ini secara terlalu luas, yang berarti bahwa kasus yang kami tangani di Pasar Karbon saat ini membuat pemerintah dituduh melakukan kesalahan atas tindakan yang dapat dibenarkan yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon.
Selain itu, ketika sebuah proyek karbon mengajukan banding, mungkin akan muncul kepentingan-kepentingan tertentu yang ingin mengintervensi proses pengambilan keputusan di tingkat kementerian, sehingga tindakan administratif seperti pencabutan izin menjadi lebih bermotif politik dibandingkan dengan masalah penegakan hukum murni.
Selain itu, kita juga harus membantu klien dengan hati-hati menavigasi transisi menuju pemerintahan yang baru. Contoh sederhananya adalah memetakan kewenangan regulasi dari kementerian dan lembaga baru yang ditugaskan untuk mengatur Pasar Karbon. Jika beberapa bulan yang lalu kita memiliki regulator tunggal untuk kehutanan dan proyek-proyek penggunaan lahan lainnya (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), sekarang kita memiliki Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Karbon Nasional yang baru saja dibentuk.
T: Kerangka kerja peraturan seputar Pasar Karbon bisa jadi rumit dan seringkali tidak jelas. Bagaimana perusahaan Anda menavigasi lanskap hukum yang ada, dan apa saja masalah regulasi utama yang dihadapi klien dalam bidang ini?
Perusahaan kami berusaha untuk menjadi yang terdepan dalam kerangka hukum yang mengelilingi Pasar Karbon.
Kami telah menggabungkan kemampuan manajemen pengetahuan kami dari penyedia layanan intelijen hukum terbesar di Indonesia (termasuk penggunaan Kecerdasan Buatan) dengan analisis internal kami sendiri mengenai pembaruan peraturan ini. Seringnya kami berhubungan dengan klien di sektor energi dan FOLU juga berarti bahwa kami dapat mengisi kekosongan di mana pun ada dokumen hukum peraturan dan/atau administratif yang belum dipublikasikan secara luas oleh lembaga pemerintah terkait.
Tak perlu dikatakan lagi bahwa mengukur undang-undang dan peraturan ini dalam praktiknya membutuhkan upaya lain. Di sinilah partisipasi aktif kami dalam forum diskusi dan berinteraksi dengan para pelaku industri menjadi kunci utama dalam mengukur apakah kebijakan tersebut telah diimplementasikan secara efektif dan seragam di seluruh sektor.
Perhatian utama dalam bidang ini termasuk transparansi dalam jadwal pendaftaran di Sistem Registrasi Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) yang dikelola oleh KLHK, di samping moratorium penjualan unit penggantian kerugian yang telah berlaku sejak Mei 2021.
T: Dapatkah Anda memberikan contoh kasus atau sengketa hukum yang pernah ditangani oleh perusahaan Anda terkait dengan Nilai Ekonomi Karbon atau perdagangan emisi? Apa saja strategi hukum yang digunakan, dan bagaimana hasilnya?
Saat ini kami sedang menangani masalah pencabutan izin untuk pengembang proyek terbesar di Indonesia berdasarkan jumlah penerbitan VCU.
Strategi kami sederhana, yaitu memberikan setiap bukti yang telah membangun hubungan antara klien kami dengan kementerian untuk membuktikan bahwa klien kami tetap mematuhi kewajibannya yang menurut pemerintah sebaliknya.
Untuk mencapai hal ini, kami melibatkan para ahli terkemuka untuk memberikan kesaksian tertulis tentang sejumlah kebijakan administratif dan lingkungan seputar tindakan administratif pemerintah. Selain itu, kami memberikan dokumentasi terperinci tentang pekerjaan yang telah dilakukan klien kami di lapangan, yang kemudian diperkuat dengan kesaksian langsung dari tim operasi mereka untuk membuktikan tingkat kontribusi yang telah diberikan oleh klien kami kepada masyarakat, lingkungan, dan kesejahteraan secara keseluruhan di wilayah tempat mereka beroperasi.
Untungnya, upaya-upaya ini telah membuahkan hasil yang positif bagi kami, baik di pengadilan tingkat pertama maupun di pengadilan banding. Saat ini kami masih mempertahankan kasus ini dari upaya kasasi yang diajukan oleh Menteri Kehutanan ke Mahkamah Agung.
T: Seiring dengan pertumbuhan dan kematangan Pasar Karbon di Indonesia, bagaimana Anda melihat perkembangan lingkungan hukum? Apa saja perkembangan hukum dan peraturan utama yang Anda antisipasi, dan bagaimana perkembangan tersebut dapat membentuk sengketa di masa depan?
Karena kondisi Pasar Karbon saat ini masih baru dan kerangka kerja peraturannya masih berbelit-belit, satu-satunya jalan adalah ke atas. Kami tetap optimis dengan hati-hati terhadap ambisi pemerintah yang akan datang untuk menetapkan Pasar Karbon sebagai sektor prioritas. Namun demikian, lanskap hukum yang berkembang akan terus menghadirkan munculnya perselisihan, baik yang bersifat administratif maupun komersial.
Pertama, kita dapat melihat adanya gesekan di antara berbagai lembaga pemerintah yang berlomba-lomba untuk mendapatkan pengaruh dalam pembuatan kebijakan di Pasar Karbon. Mengetahui bahwa sektor ini menjanjikan dalam hal pendapatan pemerintah, lembaga-lembaga yang disebutkan di atas berisiko memelopori langkah-langkah mereka sendiri tanpa koordinasi yang baik dengan yang lain, sehingga membuat para pemangku kepentingan berisiko terhadap hasil akhirnya. Untuk melihat contohnya, kita tidak perlu jauh-jauh dari kondisi bursa karbon di Bursa Efek Indonesia saat ini, yang dinamakan IDXCarbon. Hingga saat ini hanya tiga proyek yang telah terdaftar di bursa karbon tersebut, dan tidak ada satupun yang termasuk proyek FOLU.
Kita harus terus mengharapkan permintaan yang lebih tinggi dari para pelaku bisnis untuk area konsesi yang memenuhi syarat untuk proyek karbon. Di sektor FOLU, dengan berlakunya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 7 Tahun 2023, cakupan hutan yang memenuhi syarat untuk proyek karbon telah diperluas sehingga tidak hanya mencakup hutan produksi, tetapi juga kategori hutan lainnya seperti hutan sosial (Perhutanan Sosial) selain hutan adat. Meskipun kategori hutan yang terakhir ini dimaksudkan untuk memberikan manfaat langsung bagi masyarakat adat/lokal untuk terlibat dalam Pasar Karbon, ada potensi penyalahgunaan kategori hutan ini oleh pelaku bisnis yang berniat untuk mengambil jalan pintas dalam mendapatkan area konsesi, sehingga rentan terhadap penegakan hukum.
Media arus utama Indonesia juga telah melaporkan masalah klasik perampasan lahan oleh perusahaan di daerah-daerah dengan potensi karbon yang tinggi untuk mengembangkan proyek karbon. Oleh karena itu, kami memperkirakan bahwa konflik lahan seperti ini akan terus terjadi, terutama di daerah-daerah yang minim pengawasan dari pemerintah pusat dan perlawanan dari masyarakat lokal.
Seiring dengan berkembangnya Pasar Karbon Indonesia dan meningkatnya transaksi pasar untuk unit offset, maka kemungkinan transaksi unit offset yang bersifat polos (plain vanilla) akan menimbulkan perselisihan komersial. Hal ini terjadi karena Otoritas Jasa Keuangan juga belum menetapkan template standar untuk perjanjian pembelian pengurangan emisi atau perjanjian yang mengatur turunan offset.
Oleh karena itu, penting bagi semua peserta pasar karbon untuk terus melibatkan para profesional di bidang Pasar Karbon untuk memastikan bahwa mereka telah memperoleh penilaian risiko yang tepat sebelum melakukan transaksi yang melibatkan unit offset.