Peluang pengembangan proyek karbon di Indonesia

Apa saja peluang untuk pengembangan proyek karbon di Indonesia?

Johan Nylander

Artikel ini memberikan gambaran umum mengenai peluang partisipasi Pasar Karbon di Indonesia. Artikel ini memberikan gambaran umum mengenai lanskap pasar karbon Indonesia dan kerangka kerja peraturan yang ada saat ini.

Dengarkan artikel

Latar Belakang

Pada tahun 2021, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia menyatakan bahwa pendanaan yang dibutuhkan untuk dekarbonisasi ekonomi dapat mencapai $200 miliar per tahun hingga tahun 2030.[1] Angka-angka ini dirilis saat pandemi dan mungkin telah berubah, tetapi tetap memberikan gambaran kebutuhan dana Indonesia untuk mencapai target NDC dan nol emisi bersih.

Salah satu cara untuk menarik investasi asing adalah melalui pasar karbon internasional. Dalam hal ini, pengembang proyek dalam negeri atau luar negeri biasanya membantu pemilik proyek untuk mendaftarkan proyeknya dengan standar kredit karbon. Hal ini dapat dilakukan melalui pasar kepatuhan internasional di bawah Artikel 6 dari Paris Agreement atau melalui pasar karbon sukarela (voluntary carbon market (VCM)). Mendaftar sebagai proyek pasar karbon akan memfasilitasi monetisasi pengurangan emisi melalui penjualan kredit karbon.

Apa itu kredit karbon?

Mari kita mulai dengan konsep Pasar Karbon. Teori mengenai pasar karbon adalah bahwa pasar tersebut seharusnya mendorong penggunaan sumber daya yang lebih efisien dalam ekonomi untuk mencapai target pengurangan emisi karbon tertentu. Kerja sama pasar karbon internasional didasarkan pada pemahaman umum bahwa karena hanya ada satu atmosfer, lokasi emisi tidak menjadi masalah, begitu pula siapa yang akan menangani mitigasinya. Ide utamanya adalah pasar akan mengidentifikasi tindakan mitigasi yang paling mudah dilakukan (dengan biaya pengurangan emisi marginal terendah), yang mengarah pada penggunaan sumber daya yang cost-effective untuk mitigasi.

Cap-and-trade

Perdagangan emisi (cap-and-trade ) di tingkat nasional, biasanya melibatkan batas kuantitatif yang ditetapkan pemerintah (kap) terhadap tingkat emisi GRK yang diizinkan secara total, yang memiliki keuntungan dalam membantu negara mencapai target pengurangan emisi secara kuantitatif. Program cap-and-trade juga memungkinkan harga emisi ditentukan oleh mekanisme penawaran dan permintaan pasar.

Mekanisme baseline-and-credit

Mekanisme baseline-and-credit menawarkan sebuah pendekatan untuk menghasilkan kredit karbon yang dapat diperdagangkan yang digunakan untuk memonetisasi pengurangan emisi yang telah dicapai. Di bawah mekanisme baseline-and-credit, perusahaan dapat berinvestasi dalam aksi mitigasi dan menunjukkan bahwa aksi mitigasi tersebut menghasilkan emisi yang lebih sedikit dibandingkan dengan emisi yang kemungkinan besar akan terjadi jika aksi tersebut tidak dilakukan. Ketika mereka berhasil melakukannya, mereka akan mendapatkan kredit karbon. Mekanisme baseline dan kredit menciptakan peluang untuk berpartisipasi dalam pasar karbon internasional yang memfasilitasi aliran dana internasional yang baru. Mekanisme baseline-dan-kredit yang paling besar dan paling luas jangkauannya secara internasional sejauh ini adalah Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM), yang beroperasi hingga tahun 2021, yang sekarang digantikan oleh Mekanisme Pengkreditan Paris Agreement (PACM, di Artikel 6.4 dari Paris Agreement). Standar-standar pengkreditan karbon independen seperti VERRA VCS, Gold Standard dan ACR didasarkan pada konsep baseline dan pengkreditan.

Konsep dasar dan pemberian kredit.
Perusahaan yang memiliki peluang untuk menghasilkan uang dari pengurangan emisi mungkin bertanya-tanya dari mana dan bagaimana memulainya. Jawabannya adalah tergantung. Tergantung di mana pembeli potensial berada atau pasar apa yang ingin dijangkau oleh perusahaan, tergantung pada bagaimana pembeli berniat untuk menggunakan kredit karbon - untuk tujuan kepatuhan atau mencapai target emisi nol-nol secara sukarela, dan mungkin juga tergantung pada langkah atau tindakan yang akan menghasilkan kredit karbon.

Memahami kerangka regulasi

Peraturan pasar kepatuhan internasional

Untuk pasar kepatuhan internasional (Artikel 6), pengembang proyek harus mendapatkan otorisasi dari Pemerintah Indonesia. Otorisasi ini bukan untuk mematuhi peraturan dan protokol nasional, tetapi untuk memastikan bahwa Kredit Karbon dapat diekspor dan digunakan oleh pembeli internasional. Hal ini dikarenakan di bawah Artikel 6, baik pembeli maupun penjual (dalam hal ini Indonesia) tidak dapat secara bersamaan menghitung pengurangan emisi terhadap target mereka. Hal ini juga menjadi alasan mengapa otorisasi ini tidak mudah untuk didapatkan, pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa mengekspor kredit karbon tersebut tidak akan membahayakan pencapaian NDC.

Jika mengekspor kredit karbon dapat membahayakan pencapaian NDC, lalu apa untungnya bagi Indonesia? Pengkreditan karbon dapat membantu teknologi pengurangan emisi GRK menjadi layak secara ekonomi dengan menambahkan harga karbon ke dalam persamaan. Artikel 6 juga dapat memfasilitasi pendanaan untuk teknologi yang terhambat penerapannya akibat keterbatasan kapasitas. Teknologi yang murah dan matang menjadi fokus mitigasi iklim domestik, sementara pasar internasional berpotensi berinvestasi pada teknologi yang lebih mahal dan kurang matang. Hal ini dapat meningkatkan kedewasaan dan menurunkan biaya, memungkinkan teknologi ini diterapkan di negara lain tanpa bergantung pada mekanisme pasar internasional.

Indonesia telah membuat pernyataan dalam NDC yang mengindikasikan bahwa perdagangan karbon internasional di bawah Artikel 6 dari Paris Agreement dimungkinkan, dan bahwa kerangka kerja legislatif telah diatur untuk memungkinkan hal ini di bawah aturan umum untuk pendekatan Nilai Ekonomi Karbon di Indonesia. Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021 bertujuan untuk mengatur pengurangan emisi GRK, meningkatkan ketahanan iklim, dan menciptakan harga karbon untuk mencapai target NDC. Peraturan ini membuka peluang untuk memobilisasi pendanaan iklim baik dari sumber internasional maupun domestik dan memberikan insentif bagi para pemangku kepentingan untuk berkontribusi dalam pencapaian NDC.

Setelah Peraturan 2021, Pemerintah Indonesia mengadopsi Peraturan 21/2022 yang dengan jelas menyatakan bahwa perdagangan karbon internasional tidak boleh mengorbankan upaya Indonesia untuk mencapai NDC. Hal ini mengindikasikan bahwa 'menteri terkait' (kementerian sektoral) harus menunjukkan bahwa target yang ditetapkan telah tercapai atau sedang dicapai dengan intervensi yang ada, sebelum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyetujui transfer internasional.

Risiko ketidak tercapainya NDC telah diidentifikasi dan diatasi melalui berbagai langkah dalam regulasi yang diadopsi pada Oktober 2022, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menjelaskan kebijakan tersebut dalam sebuah posisi paper, menegaskan bahwa Indonesia terbuka untuk perdagangan karbon internasional, namun regulasi dari 2022 harus dipatuhi. Namun, bagaimana transfer internasional berdasarkan Artikel 6 akan disahkan masih belum dijelaskan secara rinci. Pembeli internasional dari pemerintah maupun sektor swasta masih mencari kejelasan lebih lanjut mengenai proses otorisasi di Indonesia berdasarkan Artikel 6.

Peraturan VCM

Untuk Voluntary Carbon Market (VCM) (ketika tidak memerlukan penghitungan NDC), hal ini mungkin lebih mudah. Dalam kasus di mana tidak diperlukan atau diminta otorisasi, pengurangan emisi dapat dihitung dalam NDC Indonesia. Namun, VCM masih diatur, bukan oleh peraturan internasional, tetapi oleh peraturan domestik.

Negara tuan rumah seperti Indonesia dapat memutuskan untuk mewajibkan, atau tidak mewajibkan, penghitungan NDC (penyesuaian yang sesuai) untuk proyek pasar karbon yang bertujuan untuk VCM, namun negara tersebut juga dapat memberikan kesempatan untuk melakukan penyesuaian yang sesuai jika diminta oleh independent carbon programs (ICP) atau penjual maupun pembeli, sehingga tidak secara umum mewajibkan penghitungan NDC untuk transfer kredit karbon ke negara lain. Yang pasti adalah, jika negara tuan rumah mengekspor kredit karbon yang akan digunakan untuk NDC negara lain, maka penghitungan NDC (penyesuaian yang sesuai) harus dilakukan.

Berhati-hatilah dengan peraturan sektoral

Dalam hal peluang pengurangan emisi dan kebutuhan Indonesia untuk menarik pendanaan karbon internasional, potensi proyek pasar karbon di Indonesia sangat besar. Namun, pengembang proyek harus menyadari peraturan sektoral dan memahami opsi untuk mengembangkan proyek pasar karbon lebih lanjut.

Pertama, seperti yang telah dibahas di atas, mendapatkan otorisasi di Indonesia mungkin tidak mudah karena Kementerian terkait perlu memberikan izin ekspor kredit karbon dengan mempertimbangkan proses pencapaian NDC. Jika proses ini tidak terlalu jelas dan transparan, pembeli internasional akan ragu untuk berkomitmen melalui perjanjian komersial dengan pengembang proyek di Indonesia.

Kedua, ada juga peraturan sektoral yang berdampak pada kemungkinan mengekspor kredit karbon. Salah satu peraturan tersebut berkaitan dengan energi terbarukan dan bagaimana independent power producers (IPP) dapat memperoleh perjanjian jual beli listrik (PJBL) dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Peraturan Presiden No. 112/2022 menyatakan bahwa Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan menerbitkan pedoman untuk PJBL yang dilaksanakan dengan IPP. Peraturan pelaksana dari Kementerian ESDM baru-baru ini telah disusun dan sedang disosialisasikan[2]. Peraturan pelaksana ini menetapkan ketentuan-ketentuan PJBL energi terbarukan. Peraturan ini juga mencakup ketentuan mengenai atribut energi terbarukan dan kredit karbon, intermitensi pembangkit, dan pembangkit yang dikombinasikan dengan penyimpanan.[3] IPP sedang menunggu kejelasan mengenai hal-hal tersebut, yang juga akan menjadi signifikan bagi pengembang proyek pasar karbon.

Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan No. 2 tahun 2024 terkait rooftop solar systems dan telah mengklarifikasi bahwa peraturan tambahan akan diterbitkan oleh KLHK. Namun, Kementerian ESDM belum memberikan rincian tentang jadwal penerbitan peraturan tersebut atau apakah, untuk sementara, Pemerintah akan berusaha untuk menegaskan haknya atas nilai ekonomi karbon yang berasal dari penggunaan Rooftop Solar Systems. [4]

Sektor kehutanan mendapatkan kejelasan lebih dengan diterbitkannya Peraturan No. 7 Tahun 2023 oleh KLHK tentang Prosedur Perdagangan Karbon.

Dalam konteks ini, penting untuk dicatat bahwa KLHK memiliki tanggung jawab utama untuk Pasar Karbon internasional di Indonesia, tetapi klaim atas aset karbon apa pun mungkin memerlukan pemahaman penuh atas peraturan dan ketentuan sektoral.

Bagaimana cara memonetisasi pengurangan emisi

Anggaplah sekarang Anda memiliki proyek yang sesuai dengan kebijakan Indonesia dan memenuhi syarat untuk mengklaim hak atas aset karbon di bawah peraturan sektoral. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara memonetisasi pengurangan emisi tersebut. Untuk itu, pengurangan emisi yang dihasilkan oleh proyek harus melewati proses verifikasi berdasarkan standar kredit karbon.

Untuk compliance market (Artikel 6), persyaratan yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah bahwa pengurangan emisi dikeluarkan sebagai SPE-GRK (Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca), divalidasi dan diverifikasi oleh lembaga independen yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), dan didaftarkan dalam SRN-PPI (Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim).

Gambaran Umum Proses SRN

Dalam kasus di mana proyek tidak akan menghasilkan ekspor kredit karbon internasional di bawah Artikel 6 (yaitu, melibatkan transfer hasil mitigasi yang ditransfer secara internasional, ITMO), proyek dapat didaftarkan dengan program karbon independen (independent carbon program, ICP). Dalam hal ini, ICP memiliki metodologi, badan validasi dan verifikasi, serta proses pendaftarannya sendiri.

Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah apakah ada metodologi yang disetujui yang dapat digunakan, dan apakah standar, apakah itu standar nasional di Indonesia (SPE-GRK), ICP seperti VERRA atau Gold Standard, atau Paris Agreement Crediting Mechanism, memiliki batasan untuk jenis proyek yang diperbolehkan.

Kesimpulan

Paris Agreement telah mengubah aturan main untuk proyek-proyek pasar karbon di negara-negara berkembang. Karena semua negara, termasuk Indonesia, memiliki target pengurangan emisi melalui NDCs, ekspor kredit karbon untuk digunakan oleh negara atau perusahaan lain tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa atau sembarangan. Pengembang proyek mungkin harus terlebih dahulu memutuskan jalur mana yang akan diambil - jalur kepatuhan di bawah Artikel 6 atau menggunakan ICP untuk transfer yang tidak melibatkan penghitungan NDC.

Baik penggunaan internasional maupun domestik, proses yang sama berlaku. Artinya, pengembang proyek perlu mengkonfirmasi dengan persyaratan pemantauan, verifikasi dan pelaporan di Indonesia agar proyek tersebut dapat didaftarkan di SRN-PPI dan proses verifikasi sehingga pengurangan emisi dikeluarkan sebagai SPE-GRK. Kredit karbon dari ICP juga dapat diakui sebagai SPE-GRK.

Untuk transfer internasional, pengembang proyek didorong untuk melihat peraturan sektoral untuk memahami kondisi spesifik sektor dan kemungkinan mendapatkan otorisasi untuk transfer ITMO. Sebagai kesimpulan, memonetisasi pengurangan emisi akan membutuhkan upaya. Namun, proses nasional yang diatur secara transparan juga memberikan harga yang lebih tinggi untuk Kredit Karbon sehingga mungkin sepadan dengan usaha yang dilakukan.

Ucapan Terima Kasih

Neyen ingin mengucapkan terima kasih kepada individu-individu berikut ini atas kontribusi mereka yang sangat membantu dalam artikel ini:

  • Riza Suarga, Ketua Indonesia Carbon Trade Association (IDCTA)
  • Yani Witjaksono, Direktur EksekutifYayasan Bina Usaha Lingkungan

Catatan kaki

[1] EKONOMI HIJAU UNTUK MASA DEPAN NOL NERACA: Bagaimana Indonesia dapat membangun kembali dengan lebih baik setelah COVID-19 dengan Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon (LCDI)

[2] Hal ini mengacu pada padanan konsultasi publik di Indonesia

[3] JETP (2021) Mempercepat Transisi Energi yang Berkeadilan di Indonesia. Draf Konsultasi Publik. 1 November 2023

[4] Permen ESDM No. 2 Tahun 2024 Bab IV, Ketentuan Lain-lain, Pasal 40(1) Nilai keekonomian karbon dari pemanfaatan Sistem PLTS Atap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (2) Dalam hal tidak terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), nilai keekonomian karbon dari pemanfaatan Sistem PLTS Atap menjadi milik Pemerintah.  

Bagikan Postingan:

Posting Terkait